Belajar Soal Keimanan dari Tukang Kerupuk



KETIKA sedang menikmati semangkuk bubur ayam, seorang ibu yang memesan beberapa porsi bubur ayam untuk dibungkus memanggil seorang tukang kerupuk yang melintas dan terlibat perbincangan.

“Mamang, jualannya sampai ke sini? Gak pegel jalannya?“ tanya ibu yang duduk di depanku.

“Eh Ibu, iya saya emang keliling sampai sini juga, Ibu jauh juga ngebubur sampe ke sini,” jawab tukang kerupuk itu.

“Iya Mang, abis nganter anak sekolah, sekalian,” jawab si Ibu.

“Mamang kemana aja lama gak jualan? Di rumah sampai lama gak ada kerupuk,” celoteh si ibu.

“Habis pulang kampung, Bu!” jawabnya.

“Ada apa Mamang pulang kampung melulu? Bukannya baru pulang kampung waktu itu?” tanya si ibu.

“Iya Bu, kemarin sebelumnya saya pulang kampung anak saya wisuda sarjana, kemarin saya pulang kampung selametan anak saya itu udah keterima kerja,” jawab si mamang.

“Wih hebat amat Mang dari jualan kerupuk bisa nyekolahin anak sampai jadi sarjana. Padahal si Mamang mah jualan sebulan dua bulan nanti lama gak jualan, nanti jualan lagi, tapi uangnya bisa ngumpul,” kata si ibu.

Si mamang tersenyum, “Bukan hasil jual kerupuk Bu, tapi anak saya dapat beasiswa. Kalau penghasilan jual kerupuk mah yang penting cukup buat makan, kalau saya sering pulang saya kan kepala keluarga, selain punya kewajiban memberi nafkah buat keluarga, saya juga punya kewajiban mendidik agar istri jadi shalihah dan anak jadi shalih, saya juga punya kewajiban berbakti sama orang tua. Kewajiban saya nyari nafkah kan enggak menggugurkan kewajiban saya mendidik anak istri dan berbakti sama orang tua, jadi semua tetap harus seimbang. Kalau soal rezeki mah InsyaAllah ada jaminannya semua, kalau mikirin jumlah sih uang sedikit gak cukup, uang banyak ya masih kurang,” jawabnya santai.

“Wah… Hebat si Mamang, walaupun cari nafkah jauh sama keluarga tetap bisa ngedidik anak istri, berbakti sama orang tua, padahal yang dekat sama keluarga juga belum tentu mampu melakukan loh Mang,” puji si ibu.

“Itu bukan soal mampu gak mampu, Bu. Itu soal mau enggak mau. Kalau kita ikutin dunia kita hidup kita habis jadi budak dunia, kerja cari uang atau nafkah itu gak akan ada habisnya. Namanya masalah pasti ada aja. Tapi kalau kita percayakan semua sama Allah, terus kita jalanin aja tanggung jawab kita, Allah yang akan nyelesaikan segala urusan kita. Bukannya tugas kita cuma taat aja? Kalau kita taat Allah yang ngurus semua. Kalau yang mamang tau, apa yang kita imanin kita itu yang akan menuhin hidup kita, kalau iman kita masih dipenuhin dunia, maka gak ada habisnya kita dibikin sibuk dunia, tapi kalau imanin Allah, InsyaAllah dunia yang ngikutin kita, kan Allah pemilik seluruh semesta,” jawab si mamang.

Si ibu terdiam, lalu menyodorkan uang selembar uang 10 ribuan membayar kerupuknya ke si mamang, lalu membayar bubur ayam yang dibungkusnya.

“Makasih Bu, jadi saya hari ini gak usah ke rumah ibu,” kata si mamang sambil bersiap pergi.

“Sama-sama Mang, entar Jumat tapi nganterkan?” tanya si ibu.

“InsyaAllah,” jawab si mamang. “Assalamualaikum,” lanjutnya sambil berlalu.

Aku pun terdiam mencerna ucapan si mamang sambil menikmati sisa bubur ayam di mangkuk. Luar biasa keimanannya, walau dalam kesederhanaan tidak membuatnya terbelenggu oleh dunia. Kebanyakan kepala keluarga hanya berpikir memenuhi nafkah keluarga hingga berkelimpahan, tapi lupa kewajiban mendidik istri dan anak, kurang berbakti pada orang tua. Ah… semoga keluarga kami pun bisa dalam naungan keimanan, mendidik anak-anak yang beriman yang tidak terbelenggu dunia yang penuh tipu daya.

Sumber : islampos.com

0 Response to "Belajar Soal Keimanan dari Tukang Kerupuk"

Post a Comment

Popular Posts